Saya ini manusia. Anda yang membaca ini -kalau ada yang membaca, sebenarnya- juga manusia. Kita ini sama-sama manusia, yaa yang salah satu definisinya adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Manusia secara fisik, normalnya memiliki hal-hal yang sama, kecuali ada beberapa saudara kita yang diberi kelebihan, kekurangan dalam fisiknya sebagai tanda ujian dari-Nya. Dari segi sifat... Nah, mungkin inilah perbedaan nyata antara satu manusia dengan manusia lainnya, ya?
Sifat manusia itu berbeda-beda, membuat setiap orang harus bisa beradaptasi dengan baik dimanapun dia berada. Cara menangani tiap orang itu berbeda-beda, kan, ya? Sifat manusia itu berbeda-beda, membuat setiap orang memiliki masalah yang berbeda dengan orang lainnya. Kalau si pemarah bertengkar dengan pemarah lainnya, masalahnya kan berada pada siapa yang mau mengalah terlebih dahulu. Kalau si pemarah bertengkar dengan si penyabar, kan masalahnya kira-kira tinggal bagaimana si pemarah mau memaafkan si penyabar. Sifat manusia itu berbeda-beda, membuat setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan yang berbeda dengan orang lain. Si atlet voli tentu akan kesulitan menandingi si ahli fisika di Olimpiade Sains Nasional, kan?
Karena sifat itu membuat manusia menjadi berbeda, masihkah ada alasan bagi seseorang untuk iri kepada orang lain? Kan alasan seseorang itu lebih baik dari kita, karena dia punya sifat spesifik yang membuat dia sukses. Yaa menurut saya, sih... Karena saya sedang iri kepada orang lain. Saya sedang mencoba untuk berfikir positif sekarang. Bukan kesuksesan dari orang itu yang membuat saya iri, tapi ada hal lain yang entah kenapa... membuat saya gemas. Rasanya ingin sekali saya menjadi seperti dia. Kok, dia bisa begini, saya tidak bisa?
Jadi saya ingin mencari alasan-alasan agar saya behenti merasa iri. Saya berfikir, benarkah saya iri kepada dia? Setelah ditelusuri, kok, ternyata tidak, ya? Kok saya malah jadi merasa kalau saya iri karena saya tidak suka dengan dia? Nah, loh, lebih parah. Saya telusur kembali hati saya. Kok sepertinya saya tidak suka dengan dia karena ada sifat darinya yang tidak saya sukai. Oh, ternyata sifat itu! Sifat itu, sifat yang tidak saya sukai yang mengawali rasa tidak suka saya yang berujung kepada rasa iri. Mungkin kalau saya kenal dengan orang yang juga memiliki sifat itu, saya juga tidak suka pada orangnya, ya? Duh, gawat.
Mungkin bingung, ya. Katanya tidak suka, kok, malah jadi iri? Tidak bisa saya jabarkan secara langsung, sih. Tapi secara garis besar, sifatnya ini sebenarnya bagus, perlu dimiliki setiap orang, tapi rasanya kok ya ada "sifat pendamping" yang merusak sifat mayor nya itu. Tidak suka, tapi, mau juga! Rasanya nikmat sekali dia punya kombinasi sifat seperti itu. Saya juga ingin punya kenikmatan yang dia rasakan. Yaa meski ternyata kan sifat baiknya itu tidak sebaik sebagaimana mestinya. Kan kebaikan yang menyerong itu sudah tidak lazim lagi, ya? Eh, atau itu sudah bukan disebut kebaikan lagi?
Saya telusur lagi. Emm, siapa tahu ternyata saya memiliki yang lebih baik? Mungkin, ya? Jadi pantaskah saya iri lagi?
Pantas tidak?
Duh, sudah ditelusuri sampai sini juga, kok, masih tidak tenang. Belum ada solusi ternyata. Meski saya tahu kalau iri itu tanda tak mampu.
P.S: Terbawa efek menulis pelestarian alam -yang malah kayaknya kok lebih kepada sindiran kepada 'Bapak Pimpinan'- di acara Indopos kemarin (31/8/10) sebenarnya. Jadi gaya menulisnya begini, deh. Kalau tulisan saya seperti ini, tandanya saya sedang dalam mood menjadi jurnalis! Terima kasih!
P.S.S: Saya baru saja buka puasa bersama 7 anak aksel 9 di Plaza Semanggi! Sedikit sekali, ya, mungkin memang waktunya tidak tepat. Terima kasih Dhika, Merry, Nanda, Retha, Rafi, Nadira, dan Icha! Nggak banyak berubah, kecuali Nanda yang jadi tinggi banget dan Dhika yang punya jambang!
Semoga harimu indah!
0 comments:
Posting Komentar
Share your thoughts, questions, anything! :)